Raja-raja Gowa Awal pemerintahan
Kerajaan Gowa diperintah oleh raja wanita yang disebut Sombaya. Raja pertama Gowa ini disebut Tumanurung, artinya “orang yang turun dari langit/kahyangan”. Menurut Sejarah Gowa, karena Tumanurung turun dari langit di daerah Tamalate di Gowa, maka sering disebut Tumanurunga ri Tamalate (orang yang turun di Tamalate). Meski raja pertama Gowa seorang wanita, namun setelah itu, tidak pernah lagi takhta Kerajaan Gowa diduduki wanita. Sejak itu pula seorang wanita tidak berhak menduduki takhta Gowa.
Menurut Sejarah Gowa, sebelum ada raja di Gowa, Gowa terdiri atas sembilan buah negeri atau daerah yang masing-masing dikepalai oleh seorang penguasa. Mereka ini merupakan raja-raja kecil di kesembilan negeri itu. Negeri-negeri itu:Tombolo’, Lakiung, Saumata, Parang-Parang, Data’, Agang Je’ne’, Bisei, KalIi’ (KaIling), dan Sero’.
Kemudian kesembilan penguasa atau raja-raja kecil itu membentuk sebuah gabungan atau federasi. Gabungan ini diketuai oleh seorang pejabat yang disebut paccallaya. Ialah yang bertindak sebagai ketua pemerintahan gabungan atau federasi Gowa. Paccallaya ini merupakan “ketua dewan” yang terdiri dari penguasa-penguasa yang bergabung itu. Paccallaya juga bertindak sebagai hakim tertinggi, apabila terjadi sengketa atau pertentangan di antara penguasa-penguasa yang bergabung dalam federasi Gowa itu. Penguasa-penguasa itu berdiri sendiri dan bebas mengatur pemerintahan di dalam daerahnya masing-masing.
Entah berapa lamanya pemerintahan gabungan itu berjalan. Pada suatu waktu paccallaya dan penguasa-penguasa atau raja-raja kecil itu masygul. Mereka tidak memunyai seorang raja. Tetapi mereka juga tidak mau memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi raja Gowa.
Tidak lama kemudian terdengarlah berita bahwa di sebuah tempat lain di Gowa ada seorang putri yang turun dari kahyangan. Maka paccallaya bersama kesembilan orang penguasa atau raja-raja kecil itu pun berangkat menuju ke tempat tersebut. Berita itu ternyata benar. Paccallaya dan kesembilan orang penguasa itu menemukan seorang wanita cantik. Wanita itu memakai sebuah kalung emas yang sangat indah buatannya. Siapa nama dan dari mana asal wanita cantik itu tidak diketahui. Hanya dikatakan bahwa wanita itu turun dari kahyangan. Kemudian wanita itu dinamakan Tumanurunga.
Lain halnya di Kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone. Seorang wanita dapat dan berhak menduduki takhta Kerajaan. Misalnya, Kerajaan Bone mengenal beberapa orang raja perempuan yang terkenal di dalam sejarah. Kita sebutkan antara lain: We Banrigau Daeng Marowa Arung Majang (ratu keempat Bone), We Tenrituppu Matinroe ri Sidenreng (ratu kesepuluh), Batari Toja Arung Timurung I Maning Aru Data Matinroe ri Kassi (raja ke-25), dan Basse Kajuara Palaengngi Passempe.
Raja Gowa yang paling dikehendaki dan paling memenuhi syarat adalah Karaeng Ti’no (karaeng = raja, ti’no = masak atau matang). Ayah maupun ibunya berdarah bangsawan tertinggi dan keturunan langsung dari Tumanurunga ri Tamalate (ratu pertama Gowa).
Raja Gowa memunyai kekuasaan yang mutlak (absolut). Betapa mutlaknya kekuasaan raja Gowa dapatlah kita gambarkan pada sebuah kalimat dalam bahasa Makassar: “Makkanama’ numammio" (Aku berkata dan engkau mengiyakan). Maksudnya, segala titah atau perintah raja Gowa harus ditaati dan dipatuhi. Segala kata-kata raja Gowa harus dilaksanakan, tidak boleh dibantah sedikit pun.
Seperti dikatakan tadi, calon raja Gowa yang paling memenuhi syarat ialah dari golongan atau tingkatan “karaeng ti’no” yakni yang ayah ibunya berdarah bangsawan tertinggi dan seorang keturunan langsung dan Tumanurunga ri Tamalate, raja pertama Gowa. Calon atau putra raja yang demikian itu disebut ana pattola artinya “anak pengganti raja” (mattola = mengganti, menggantikan; pattola = pengganti).
Ada dua macam atau cara pelantikan raja Gowa. Yang pertama disebut nilanti (dilantik) dan yang kedua disebut nitogasa (ditugaskan). Jika calon raja itu seorang Karaeng Ti’no, anak pattola sejati, maka ia akan nilanti. Jika calon raja itu bukan seorang Karaeng Ti’no, bukan anak pattola sejati, maka ia hanya nitogasa.
Upacara penobatan raja Gowa yang disebut nilanti dilakukan di tamalate. Upacara ini dilakukan di atas sebuah batu yang menurut riwayat adalah tempat Tumanurunga turun dari langit. Upacara nitogasa dilakukan di depan istana saja. Tentu saja upacara nilanti lazimnya lebih megah, meriah dan lebih besar sifatnya daripada upacara nitogasa.
Dalam menjalankan pemerintahan raja Gowa dibantu oleh beberapa orang pembesar atau pejabat kerajaan, yakni:
1. pabbicara butta (juru bicara tanah atau juru bicara negeri);
2. tumailalalang towa (tu = orang; ilalang = dalam; towa = tua);
3. tumailalang lolo (tu = orang; ilalang = dalam; lolo = muda).
Di samping itu raja Gowa dibantu oleh sebuah lembaga “perwakilan rakyat” yang disebut Bate Salapanga (bate = panji, bendera; sialapang = sembilan). Jadi, bate salapanga berarti pemegang bendera atau pembawa panji yang berjumlah sembilan orang. Mula-mula lembaga ini disebut Kasuwiang Salapanga (kasuwiang = mengabdi; salapang = sembilan). Jadi, kasuwiang salapanga berarti "pengabdi yang sembilan orang". Lembaga Kasuwiang Salapanga yang kemudian menjadi Bate Salapanga ini memang terdiri atas sembilan orang anggota.
Pabbicara butta adalah orang kedua sesudah raja Gowa. Jadi jabatan pabbicara butta dapat disamakan dengan perdana menteri, mahapatih, atau mangkubumi Kerajaan Gowa. Dalam Sejarah Gowa, pada masa pemerintahan raja Gowa yang ke-9 Tumapa’risi Kallonna, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo disatupadukan kembali. Penyatuan kedua kerajaan itu dikuatkan oleh ucapan sumpah raja-raja dan para pembesar kedua kerajaan itu. Sumpah itu di dalam bahasa Makassar berbunyi: “Ia Iannamo Tau Ampassi Ewai Gowa-Tallo Iamo Nacalla Rewata”. artinya: “Siapa-siapa saja yang mengadudomba Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, maka orang itu akan dikutuk oleh dewata”.
Sejak itulah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, terutama dalam hubungan keluar, merupakan satu kerajaan yang bersatu. Betapa kokoh perpaduan antara kedua kerajaan bersaudara itu, dapat dilihat dalam ungkapan bahasa Makassar: Rua karaeng se’re ata artinya “Dua raja namun satu hamba”. Maksudnya, dua raja memerintah atas rakyat yang tetap satu. Sejak itu pula raja Tallo dan keturunan pengganti baginda pada lazimnya diangkat menjadi pabbicara butta Kerajaan Gowa.
Pabbicara butta atau mangkubumi Kerajaan Gowa yang merangkap menjadi raja Tallo dan yang terkenal di dalam sejarah, antara lain ialah:
Karaeng Matoaya juga terkenal dengan nama Sultan Abdullah Awalul Islam Tumenanga ri Agamana. la adalah raja Sulawesi Selatan yang mula-mula sekali memeluk Islam. Yang mengislamkan ialah Khatib Tunggal Abdul Makmur yang lebih dikenal oleh orang-orang Sulawesi-Selatan gelarnya, Dato’ ri Bandang.
Ada tiga orang yang terkenal sebagai penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan. Yang pertama ialah Khatib Tunggal alias Dato’ ri Bandang. la bersama dua orang temannya lagi, yakni Khatib Sulaiman yang terkenal dengan gelarnya Dato’ ri Patimang, dan Khatib Bungsu yang kemudian terkenal dengan gelarnya Dato’ ri Tiro karena ia wafat di Desa Tiro. Khatib Tunggal alias Dato’ ri Bandang ini seorang ulama yang berasal dari Kota Tengah di Minangkabau, Sumatra Barat. Oleh karena itu, ia diberi gelar Dato’, berasal dari gelar orang-orang Minangkabau, Datuk.
Karaeng Matoaya memeluk Islam pada 9 Jumadil Awal 1014 Hijrah (22 September 1605). Oleh karena baginda adalah raja yang mula-mula sekali memeluk Islam di Sulawesi Selatan, maka baginda mendapat gelar “Sultan Abdullah Awalul Islam”. Ia terkenal sangat taat pada Islam. Oleh karena itu, setelah wafat pada 10 Oktober 1636 di Tallo, ia mendapatkan gelar anumerta: Tumenanga ri Agamana (raja atau orang yang wafat dalam agamanya). Ada juga yang menyebut Tumenanga ri Tappa’na (raja atau orang yang wafat dalam kepercayaannya). Ialah yang berjasa mengajak kemenakannya, Sultan Alauddin raja Gowa yang ke-14, untuk masuk Islam.
Tidak lama kemudian, Islam telah menjadi agama kerajaan di Gowa. Sembahyang Jumat yang pertama di Tallo diadakan pada 9 November 1607 atau 19 Rajab 1016 Hijriah. Setelah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo menjadi Kerajaan Islam dan raja-rajanya telah memeroleh gelar sultan, kedua kerajaan itu menjadi pusat penyebaran Islam di seluruh Sulawesi Selatan. Dalam hal ini Karaeng Matoaya ,alias Sultan Abdullah Awwalul Islam, raja Tallo ke-6, merangkap sebagai tumabbicara butta Kerajaan Gowa, sangat besar sekali jasanya.
b. Karaeng Pattingalloang
Karaeng Pattingalloang, raja ke-8 Tallo, mulanya menjabat sebagai pabbicara butta Kerajaan Gowa pada zaman pemerintahan raja ke-15 Gowa, Sultan Muhammad Said Tumenanga ri Papambatunna.
Karaeng Pattingaloang terkenal sebagai seorang cendekia dan menguasai serta mahir beberapa bahasa asing. Karaeng Pattingaloang terkenal pula dengan nama Sultan Mahmud Tumenanga ri Bontobiraeng.
Pabbicara butta biasa pula menjadi wali dan pemangku raja jikalau putra mahkota atau raja masih belum mencapai usia untuk memegang sendiri tampuk pemerintahan. Pabbicara butta memunyai pengaruh dan kekuasaan yang besar sekali. Pabbicara butta-lah yang memerintah atas nama raja Gowa. Pada mulanya jabatan pabbicara butta diadakan karena putra mahkota atau raja Gowa masih belum dewasa. Kemudian jabatan pabbicara butta tetap ada meski raja sudah dewasa dan memegang sendiri pemerintahan. Tugas pabbicara butta di dalam bahasa Makassar sering disebut “mabbaIigau”, artinya “membantu (raja Gowa) memerintah” atau “pasangan raja dalam memerintah”. Demikianlah, sejak dari Batara Gowa menjadi raja ke-7 Gowa dan Karaeng Loe ri Sero menjadi raja pertama Tallo, raja-raja Tallo selalu menjadi baligau (patih) raja Gowa.
la adalah seorang pejabat atau pembesar kerajaan yang menyampaikan dan meneruskan segala perintah raja Gowa kepada bate salapanga, kepada para kepala distrik atau kepala wilayah, kepada para bate anak karaeng, dan lain-lain. la menjaga pula agar supaya segala perintah raja Gowa dilaksanakan sungguh-sungguh. Ia sering pula memimpin sidang-sidang yang diadakan untuk membicarakan soal-soal yang sangat penting. Tumailalang towa-lah yang menyampaIkan kepada sidang tersebut segala kehendak dan titah raja Gowa. Segala keputusan, saran-saran, atau pesan-pesan raja Gowa disampaikan oleh tumailalang towa.
Pejabat kerajaan ini selalu berada di dekat raja Gowa. Ialah yang menerima usul-usul dan permohonan untuk disampaikan kepada raja Gowa. Ia meneruskan segala perintah raja Gowa mengenai soal-soal rumah tangga istana. Di dalam masa perang, ia sering bekerja bersama dengan panglima pasukan-pasukan Kerajaan Gowa yang disebut “anrongguru-lompona-tumak-kajannangnganga”. Mereka sering membicarakan dan merencanakan segala soal yang bersangkut-paut dengan soal peperangan.
Jabatan tumailalang towa dan tumailalang lolo diangkat dan dipecat oleh raja Gowa. Tumailalang towa dan tumailalang lolo pun menghubungkan secara timbal balik antara pemerintah atau raja Gowa dengan rakyat Gowa yang diwakili oleh bate salapanga.
Dahulu, kedua fungsi itu dipegang oleh pacallaya, lalu oleh tumailalang (orang yang di dalam). Jadi, mula-mula tumailalang yang menggantikan kedudukan paccallaya hanya ada satu orang. Kemudian dijadikan dua orang, yakni tumailalang towa dan tumailala lolo. Fungsinya pun dipecah menjadi dua, yakni: hubungan dari raja Gowa ke bate salapanga dipegang oleh tumailalang towa, sedang hubungan dari bate salapanga ke raja Gowa harus melalui tumailalang lolo. Dengan demikian, bate salapanga dapat disamakan dengan parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat.